From the Impossible #8 Come On! You Can Do It!
Sebelum membaca bagian 8, pastikan pembaca sudah terlebih dahulu membaca #1 - #7: From the Impossible #1 Maju Berperang tanpa Senjata, #2 Rencana Pertama, Merencanakan, #3 El.com, #4 Terima Kasih Pak Sep, #5 Strategy Needed, #6 Coaching Gratisan dan #7 O My God
Dengan kondisi penat, lusuh dan pasrah,
kami masih berusaha rileks menunggu lengkap panitia dan peserta lain sehabis
makan, istirahat dan beribadah Maghrib.
“Lihat sekeliling kalian. Tidak seramai
kemarin dan tadi siang kan?” Aku coba
memancing pembicaraan sebelum acara dimulai.
“Kan tinggal empat tim, Pak,” jawab Sutris.
“Itu artinya kalian semakin beda.”
"Gak percaya kita bisa sampai
sejauh ini,” Krisna menimpali.
“Serasa mimpi, Pak,” Reva menambahkan.
“Tapi ini nyata. Kita bisa. Tidak
sia-sia setahun kurang lebih kita berlatih.”
“Tapi, maaf ya, Pak, kalau nanti
akhirnya kami mengecewakan,” Sutris memelas.
“Gak usah punya
perasaan seperti itu. Kalian tidal dituntut harus menang. It’s your game! Just enjoy it!”
“Tapi, Pak, tetap saja ....”
“Itu pasti!” Selahku sengaja memotong,
jangan sampai ungkapan pesimis itu keluar dari mulutnya. “Tentu ada perasaan
panik, grogi dan sejenisnya. Jalan satu-satunya, ‘lawan!’. Menang atau kalah, saya yakin kalian sudah berusaha. Saya hanya ingin kalian melakukan yang
terbaik semampu kalian.”
Pertandingan akan segera dimulai
kembali. Skema permainan ditempelkan oleh panita.
“Kita akan melawan SMAN 1 Palmania, Pak,” kata Krisna panik setengah berteriak, keluar dari
kerumunan peserta yang melihat skema pertandingan babak final.
“Lho ... itu kan masuk sekolah unggulan, Pak.” Vera
merespon
“Dua dari empat sekolah di babak ini sekolah terfavorit.”
“Ya, mereka kan sudah biasa pake Bahasa
Inggris kalo belajar, Pak,” Sutris terbawa panik.
"Sssst.... dengar saya ya. Orang
pandai berbahasa Inggris, cas cis cus, belum tentu pintar berdebat. Satu lagi.
Camkan ini! Adalah wajar bagi mereka sekarang sampai di babak ini. Dan terlalu
biasa bagi mereka kalau menang dari kita. Tapi bagaimana kalau kita balikan
logikanya?”
“Maksudnya, Pak?”
“Bagi kita, sekolah pinggiran akan
terasa biasa kalau kalah dari mereka, yang katanya sekolah favorit yang paling diunggulkan. Justru dengan label itu, mereka punya beban.
Sebaliknya kita tidak punya beban. Dan akan terdengar ‘luar biasa!’ kalau ....”
“Kalau?”
“Kalau kalian bisa mengalahkan mereka.
Kalian sudah terlanjur hebat sampai di putaran final ini. Apalagi kalau bisa
mengalahkan mereka. Ingat yel-yel
sekolah kita?”
“Luar biasa!” Spontan serentak mereka memekikan yel-yel yang sudah biasa dilakukan di sekolah, tak peduli menarik perhatian orang-orang di sekitar.
Lagi-lagi panitia memberi pengumuman
meralat acara yang sebetulnya sudah direncanakan. Bahwa sehubungan waktu
semakin malam, dari yang seharusnya empat match
–dua di semi final dan dua di grand final –direduksi menjadi dua match saja. Untuk menentukan juara 1, 2 dan 3 diambil dari
peringkat skor tim. Penentuan 1st, 2nd dan 3rd best speakers diambil dari
peringkat skor individual.
Match pertama
adalah SMAN 1 Rembus versus SMAN 1 Ngarangwekar. Kami main
di ujung waktu. Lagi, keberuntungan berpihak pada kami. Tim kami bisa menjalani
case building lebih lama karena dilakukan
sambil menunggu match pertama
selesai. Aku sendiri berkesempatan menyaksikan dan bisa belajar dari dua
sekolah hebat ini.
Ya, perdebatan cukup hot. Maklum dua sekolah hebat. Namun siapa yang memenangkan, sengaja tidak diumumkan terlebih dahulu oleh dewan juri. Silent decision, katanya.
Tiba saatnya match kedua sekaligus yang terakhir. Kedua tim sudah berada di
depan, berhadap-hadapan. Timku tim oposisi, berada di sisi sebelah kiri dilihat
dari arah penonton.
Tidak kalah seru dengan match pertama
tadi. Pembicara pertama tim pemerintah menyampaikan argumen timnya. Nyaris
sempurna! Setidaknya menurut pengamatanku. Dibalas oleh Reva, pembicara pertama
tim oposisi. Tak berhasil aku melihat kelemahannya.
Pembicara kedua tim pemerintah menyusul
berbicara. Huh! Luar biasa! Dibalas oleh Sutris, pembicara kedua timku,
menyanggah argumen pembicara sebelumnya dari tim pemerintah. Aku hanya geleng
kepala, bisa saja keduanya saling menyanggah
argumen lawan dan menghantamnya dengan argumen sendiri.
Pembicara ketiga tim pemerintah merekap dan
memperkuat arguemen-argumen timnya setelah membantah argumen Sutris. Krisna pembicara
ketiga tim oposisi menunaikan tugasnya mementahkan
arguemen-arguemen tim pemerintah dan mengakhiri dengan rekap dan penguatan
argumen tim.
Reva berdiri kembali menyampaikan pidato
balasan. Satu per satu argumen tim pemerintah dikuliti dan dihantam dengan
argumen timnya. Begitu juga, pembicara kedua tim pemerintah mengakhiri debat
dengan melemahkan argumen-argumen tim oposisi sekaligus melebihkan argumen
timnya.
Begitu dinamis debat ini untuk dinikmati.
Ketika satu pembicara sedang berbicara, pembicara lawan menyimaknya; dan ketika
ada celah yang bisa dilemahkan, point of information (interupsi) disampaikan
oleh lawan-lawannya. Semua pembicara mencapai injury time. Waktu betul-betul dimanfaatkan seefektif mungkin oleh
masing-masing pembicara untuk menguatkan argumennya dan melemahkan argumen
lawannya.
Sulit untuk diprediksi mana tim yang
menang dan mana yang kalah. Pertarungan betul-betul ketat. Pendapatku ini
dikuatkan oleh komentar para juri bahwa debat berlangsung seimbang, sama-sama
kuat. Ada kesalahan sedikit saja dilakukan oleh setaip pembicara bisa
dipertimbangkan sebagai penalty, yang
bisa mengurangi skor dan akhirnya berpengaruh pada nilai tim.
Ada satu poin penting yang aku baru dapatkan
dari komentar yang disampaikan oleh tim juri. Dua dari lima juri sempat
menyampaikan bahwa debat itu melemahkan seharusnya selain menguatkan argumen tim sendiri, boleh juga melemahkan argumen lawan, hindari melakukan barrage atau personal attack.
Hmmm..... Apakah tim oposisi timku tadi melancarkan serangan pada pribadi-pribadi tim lawan, bukan pada argumen-argumennya? Tiba-tiba terbersit rasa optimis.
23.25. Hampir tengah malam. Acara penutupan Regency School Debating Championsip 2008 dilaksanakan dengan sangat sederhana.
Pembukaan hanya dengan membacakan basmalah.
Sambutan to-the-point dari pihak
Dinas Pendidikan dan panitia penyelenggara. Dan penutup dengan hamdallah. Tentu saja sebelumnya
diumumkan tim pemenang dan best speakernya.
“Juara ketiga adalah......Tim SMA Negeri
Satu Rem....bus....!” Panitia mengumumkan, dari bawah terlebih dahulu.
“Horeeeee....!” Sorak disertai tepuk
tangan dari salah satu sudut ruangan. Tidak terlalu antusias kedengarannya,
mungkin karena kurang penggembira, atau karena sudah terlalu lelah, atau kecewa
karena hanya juara tiga, padahal sekolah penyandang label sekolah unggulan.
“Juara kedua adalah ....”
Detak jantung semakin berdegup. Kalau
tidak juara dua, apakah kami layak juara satu? Atau .... gagal ke tiga besar?
“Dimohon Tim dari SMA Negeri Satu Rembus
ke depan untuk menerima penghargaan,” pinta panitia, seperti mengulur waktu, membuat
penasaran.
“Kita kembali. Juara Kedua adalah .... SMA
Negeri Satu ....”
Tidak ada yang bersorak. Hanya ada beberapa selain aku bertepuk tangan. Kami memang hanya berempat, tidak membawa pendukung. Sementara, Reva, Surtis dan Krisna sibuk berangkulan, untuk saling menguatkan. Krisa meneteskan airmata disertai sedu tak henti sampai di depan menerima penghargaan.
Selanjutnya, kami tidak peduli dengan euforia kemenangan SMA pemenang juara 1 di satu pihak dan kekecewaan SMA yang tidak masuk 3 besar. Kami sibuk dengan rasa syukur kami. Memperoleh juara 2 pun kami masih belum percaya.
Komentar
Posting Komentar