From the Impossible #7 O My God!
Baca terlebih dahulu:
1. From the Impossible #1 Maju Berperang tanpa Senjata
2. From the Impossible #2 Rencana Pertama: Merencanakan
3. From the Impossible #3 El.com
4. From the Impossiblle #4 Terima Kasih Pak Sep
5. From the Impossible #5 Strategy Needed
6. From the Impossible #6 Coaching Gratisan
Oktober 2016, bulan yang sama. Lomba yang sama pula. Lomba debat antar SMA tingkat kabupaten.
Match pertama timku mulai. Timku berada di posisi government. Itu berarti mereka tidak hanya harus setuju, melainkan harus mempertahankan motion semaksimal mungkin.Chairperson mulai membuka match. Time keeper memperagakan ketukan penanda waktu yang harus diperhatikan oleh speakers.
C’mon, Reva.... kamu pasti bisa!
Reva Sannia, 1st speaker tim, mulai berbicara. Dia mulai medefinisikan motion dan mengajukan parameter agar topik permasalahan tidak terlalu luas tapi juga tidak terlalu sempit sehingga masih debatable.
Hm... cantik kamu, Reva. Kamu ajukan topik. Kemudian kamu berbagi sub topik dengan 2nd speaker.
Time keeper mengetuk meja satu kali, pertanda tim lawan sudah boleh menginterupsi.
Argumen, ya Reva mulai menyampaikan argumen. Dia utarakan statement, tidak lupa alasan.
Jantung semakin berdegup. Duduk di sofa bagian tengah barisan paling depan, aku berusaha tidak bicara dan menghemat gerakan tubuh, untuk sekedar menutupi kegugupan. Ya, seperti halnya Reva yang sedang berargumen berupaya menutupi grogi dan tetap mampu mengontrol diri.
Reva mulai mengelaborasi pernyataan dan alasannya. Luar biasa! Dia mampu menterjemahkan instruksiku, bahwa elaborasi tidak hanya akan memanfaatkan waktu maksimal tapi juga akan menentukan kualitas argumen, kuat atau lemah. Tidak ada interupsi dari tim lawan sampai terdengar satu ketukan dari time keeper pertanda waktu tersisa tinggal satu menit dan tak ada lagi waktu untuk diinterupsi.
Reva mengakhiri argumennya setelah lebih dari enam menit berbicara. Tidak sampai injury time memang, tapi cukup lah untuk penampilan perdana. Dan tepuk tangan audiens mereson penampilannya.
Di pandanganku kamu semakin cantik, Reva.
1st speaker tim opposition berdiri. Tiba-tiba keteganganku mulai mengendur ketika dia mulai berbicara. Pembicara pertama belum siap berdebat rupanya. Hanya dua menit berbicara, sporadis tak terstruktur. Tapi jangan terlalu cepat meremehkan, belum tentu terjadi dengan pembicara kedua dan ketiga.
Second speaker timku mulai berunjuk gigi, berargumen sesuai dengan sub topik yang menjadi tanggung jawabnya. Sutris tidak sebagus Reva, tapi tak seburuk pembicara pertama tim lawan. Flat saja, lima menit berbicara.
Dan aku semakin optimis ketika pembicara kedua tim lawan tidak jauh berbeda dengan pembicara terdahulunya. Dia hanya mengulang-ulang statemen pembicara pertama.
”On that point, Sir!” Tiba-tiba Reva menjulurkan lima jarinya ke depan. Wow.... Dengan penuh percaya diri Reva mengajukan Point of Information. Dan dengan kurang percaya diri pembicara lawan menolak, “No!” Satu poin buat timku.
Krisna, 3rd speaker, mengambil giliran berbicara. Kualitasnya masih di atas 2 pembicara tim lawan. Dia merekap argumen-argumen yang disampaikan Reva dan Sutris.
Ya, kemenangan di depan mata. Pembicara ketiga tim lawan masih sama dengan pembicara pertama dan kedua. Dilanjutkan dengan reply speaker masing-masing dari opposition team dan government team.
Debat ditutup dengan speech dari para adjudicators. Ketiganya memutuskan bahwa tim yang memenangkan debat adalah government team, dengan margin cukup lebar, yang berarti timku menang dengan telak.
Hari pertama, kami membawa kabar baik. Masuk 8 besar. Dan ketika melihat daftar hasil pertandingan –yang katanya berdasarkan True Power Match Point –kami berada di peringkat 4. Berarti esok hari kami akan melawan tim yang peringkatnya jauh di bawah kami, peringkat 13.
“Akan berhadapan dengan tim bawah bukan berarti kita harus tinggi hati, terlebih meremehkan mereka,” aku coba memotivasi tim sebelum pertandingan di hari kedua. “Saya yakin. Sebelum bertanding kemarin, kalian merasa tidak percaya akan masuk babak ini. Dan sekarang saya juga yakin. Bahwa kalian merasa tidak percaya kalian sudah berada di babak ini.”
“Ini semua gak lepas dari bimbingan Bapak,” respon salah satu dari mereka.
“Kalau kalian tidak percaya, saya juga tidak yakin. Ketidakpercayaan kalian sama dengan ketidakyakinan saya. Kemarin saya tidak merasa yakin akan bisa, dan sekarang juga saya belum merasa yakin sudah bisa mendampingi kalian sampai octo final round ini.”
“Iya, Pak.”
“Intinya apa yang baru saya sampaikan?”
“Tidak boleh menganggap enteng lawan,” jawab Sutris.
“Gak PD itu wajar,” tambah Krisna.
“Tapi gak ada jalan lain, kecuali hadapi rasa gak PD itu, Pak,” Reva tidak mau kalah.
“Smart! Jadi, kalau kemarin kalian bisa, kenapa sekarang tidak bisa? Go ahead. I’m right behind you!”
“Siap, Pak!”
Menyaksikan match pertama di hari ketiga ini, aku berasumsi timku menang dengan telak walaupun para juri belum menyampaikan keputusannya. Tim lawan kali ini lebih baik dari tim lawan di preliminary round 1 dan 2. Tapi timku jauh lebih baik. Kemenangan pertama dan kedua di dua hari kemarin telah menambah kepercayaan diri mereka, wawasan mereka, dan tentu skill mereka. Timku masuk Quarter Final Round, 8 besar, yang di siang hari ini juga dilaksanakan.
Keberuntungan selalu berpihak. Timku belum bertemu dengan tim tangguh atau minimal yang sepadan. Di babak ini timku berhadapan dengan tim yang lebih baik lagi dari tim lawan di babak 16 besar. Tapi lagi-lagi timku juga telah diupgrade oleh dua kemenangan sebelumnya. Kami menang dengan tidak terlalu menemui banyak kesulitan. Aku semakin tak yakin bahwa kami sudah sampai sejauh ini. Timku berada di peringakat 3 dari 4 tim yang tersisa. Tim akan bertanding di semi final round esok hari.
Namun, ba’da Ashar disaat kami hendak pulang. Tiba-tiba panitia mengumumkan bahwa kompetisi harus diselesaikan
hari ini juga. Ini karena keterbatasan anggaran. Jadi, babak semi final dan grand final tidak akan dilaksanakan esok hari. Melainkan jam 19.00, malam ini.
Astaga...!
Bersambung >>>
Komentar
Posting Komentar